Diceritakan bahwasannya KH. Abdul hamid ketika menikahi istrinya ( Nyai Nafisah ) waktu itu umur istrinya sekitar 15 tahun, dimana usia itu masih tergolong usia muda belia, sehingga Nyai Nafisah ketika dinikahi oleh Kyai Hamid, sang istri ini "gak pathut" ( istilah Jawa ) yaitu tidak mau kumpul bersama Kyai Hamid, dan hal ini terjadi tidak 1 atau 2 hari saja, bahkan hal ini terjadi sampai sekitar 2 tahun. Akan tetapi Kyai Hamid tetap bersabar dan tabah dalam menghadapi istrinya yang masih muda ini.
Didalam rumah tangga Beliau senantiasa selalu mengedepankan dan memperhatikan pasangannya, bukan menjadikan istri sebagai wahana kesengannya sendiri, sehingga tidak ada istilah "menang sendiri" bahkan beliau lebih sering mengalah jika ada masalah. Sedangkan saat Nyai Nafisah marah terhadap beliau, maka beliau ( Kyai Hamid ) hanya diam dan mendengarkan saja, bukan malah membantah apa yang diucapkan oleh istrinya, karena kalau saja dijawab mungkin suasana akan menjadi tambah runyam.
Adakalanya Kyai hamid menghindar, yakni bila kemarahan sang istri tak kunjung padam. Beliau mengungsi kekamar disebelah Musholla ( kamar yang khusus untuk beliau ). Kadang adik iparnya disuruh menjenguk sang istri dan disuruh melihat suasananya apakah kemarahan nyai Nafisah sudah selesai apa masih berlanjut. Beliau akan pulang jika sang istri sudah tidak marah dan akan tetap tinggal dikamar itu kalaupun belum reda.
Kyai Hamid juga tidak pernah bermanja-manja terhadap istrinya, tidak banyak menuntut akan tetapi lebih banyak mengerjakannya sendiri. Bahkan, beliau juga sangat telaten didalam membimbing istrinya yang ketika dinikahi masih dalam usia muda, yang otomatis dari segi keilmuan belum seberapa dibanding dengan beliau. Maka, dibelikannya sang istri tersebut kitab-kitab terjemahan dan diajari sendiri oleh beliau. Didalam mengajar istrinya beliau tidak menjadwal secara khusus, akan tetapi beliau mengajarinya ketika waktu-waktu kosong dengan melihat kondisi atau mood sang istri, sehingga sang istri tidak merasa berat dan terbebani.
Dari hasil didikan beliau inilah maka sang istripun mampu menjadi seorang ibu nyai yang handal dan pemimpin pesantren putri yang disegani. Konon, ketika hendak mengajar, tak jarang pula Bu Nyai ini ( istilah Jawanya, Kulakan dulu ke suaminya, yakni KH. Hamid ) bertanya mana yang kurang dimengerti, baru berangkat mengajar.
Hal inilah yang menjadikan mereka berdua menjadi pasangan yang serasi, klop dan saling mengisi, meskipun pembawaan mereka berdua sangat berbeda. Di satu pihak dengan pembawaan polos dan yang satu lagi suka berkata langsung ( alias mudah mengungkapkan jika pasangannya kurang tepat ).
Dengan kesabaran dan ketelatenanlah Kyai Hamid mampu membimbing istrinya untuk menjadi wanita yang bisa diajak berjuang mengembangkan pondok pesantrennya. Bisa kita bayangkan jika Kyai Hamid tidak mau mengalah dan bersabar terhadap sifat istrinya, mungkin bisa jadi sang istri tidak akan mampu menjadi seorang pemimpin pesantren putri dan tak akan mampu mengarungi bahtera rumah tangganya dengan sempurna.
Semoga kita mampu meniru akhlak mulia KH. Abdul Hamid didalam hal apapun, lebih-lebih dalam menghadapi pasangan hidup kita, sehingga Rumah tangga kita akan terasa saling mengisi, saling mengerti dan saling mengedepankan akan keharmonisan rumah tangga.
Al Fatihah Ilaa KH. Hamid Pasuruan semoga Allah meratakan rahmatNya kepadanya, meninggikan derajatnya, menempatkan beliau bersama baginda Rosulullah shollallahu alaihi wa aalihi wasallam, dan bersama para syuhada', sholihin, dan semoga kita mendapat keberkahannya, rahasia-rahasianya, serta cahaya-cahaya ilmunya, didalam agama, dunia dan akhirat, bisirril faatihah.
Oleh : Habib Fahmi Bin Yahya Yahya dengan beberapa editing kosakata dan tanda baca
Copy from Pecinta Ulama Nusantara
0 Comment for "Keteladanan KH. Abdul Hamid dalam Membimbing Istri"
Berkomentarlah dengan baik, karena komentar yang baik bisa membuat DizaShared lebih baik lagi. ^_^'