Hello Pren, Sore ini aku rasanya sebel banget. Mulai dari pagi hingga sore ini hampir tak satu pun yang aku lakukan di hadapannya tidak bermakna. Setiap penjelasanku terasa tak berarti. Separah itukah hal yang telah membuatnya marah terhadapku? Apakah tak ada sedikitpun maaf bagiku??? Arrrggght...
Kejadian bermula ketika aku ingin menjemputnya. Yah, sejak malam Maulid Nabi Muhammad SAW, istriku memang meminta izin untuk merayakan di kampung halamannya. Sedangkan aku merayakan di kampung halamanku. Keputusan untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad di beda tempat adalah karena siang harinya aku masih harus bekerja dan malamnya adalah perayaan Maulid. Aku pun mengantarnya pagi-pagi betul. Agar aku tak terlambat masuk kerja. Karena memang jarak tempatku bekerja dari kampung halaman istriku cukup jauh. Kami pun sepakat, aku akan menjemputnya besok harinya. Pas tanggal Merah. Libur kerja.
libur tanggal merah, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, aku dengan sengaja tidak mengikuti kerja lembur yang ditawarkan atasan. Aku lebih memilih untuk menjemput istriku. Seperti biasa, aku sarapan pada jam layaknya hari kerja. Namun aku lebih santai dan menikmati sarapanku. Dalam benakku, aku ga perlu terburu-buru. Tak ada target jam untuk menjemput istriku.
Usai sarapan, aku nonton TV bersama adikku. Hanya sekedar melepas penat. Hingga akhirnya ibu dan nenekku membahas Kalender. Hampir tutup bulan tahun ini, kami tak memiliki kalender. Sehingga kami sulit menentukan apa-apa saja yang terjadwal. Itulah yang mereka bahas. Bahasan pun mengerucut pada salah seorang pakdeku yang memang bekerja di bidang percetakan sablon. Aku pun di tunjuk untuk "mampir" dan pulang membawa sisa kalenderberlebih yang ada di tempat pakde bekerja, rumahnya. Pikir punya pikir, aku pun setuju dengan pertimbangan, karena rumah istriku dan pakde searah.
Aku berangkat ke rumah pakde bersama adikku. Dalam benakku, ke rumah pakde cukup sebentar saja. Setelah ambil kalender yang sebelumnya kami "tanyakan" melalui SMS.Namun, keadaan berkata lain. Begitu sampai di rumah pakde, ternyata pakde tidak ada di rumah. Aku pun diminta menunggu. Bude dan anak berserta menantunya turut menemani disela waktuku menunggu. Hingga akhirnya pakde datang dan tanpa banyak basa-basi pakde menyiapkan kalender yang kami "tanyakan", sementara aku dan adik ngobrol bersama Kakak Keponakan (anak pakde) dan istrinya.
Tidak sesuai rencana, kalender yang hendak aku bawa terpaksa harus menunggu beberapa waktu lagi. Pak de dan keluarganya memintaku untuk berlama-lama. Karena kami memang sudah lama tidak mampir. Padahal, saat itu istriku usai menelpon dan menanyakan kapan aku menjemputnya. Aku dan adik pun didorong menuju meja makan. Kami pun tak bisa menolak setelah beberapa kalimat terlontar dari masing-masing anggota keluarga pakde.
Usai makan, aku kembali berbincang sejenak dan tak lama aku pun mengutarakan maksud untuk pulang. Dan lagi-lagi aku tak mendapatkan izin untuk pulang. Setidaknya, tunggu sampai jam yang mereka tentukan. Kali ini aku mencoba berdalih, karena dari nada bicara istriku di telepon, nampaknya dia marah karena aku tak kunjung menjemputnya.
Kata demi kata aku lontarkan agar aku mendapatkan izin untuk pulang dan menjemput istriku. Agak lama bergelut kata, akhirnya aku pun bisa beranjak dari kediaman pakde. Walau pun sebelumnya pakde sempat mengungkapkan kekecewaannya. Namun, mau bagaimana lagi? Aku pun harus segfera bergegas menjemput istriku.
Tak berselang lama,aku pun sampai di kampung halaman, kediaman istriku. Begitu datang, tak seorang pun menemuiku. Aku memaklumi, karena aku datang di jam sholat Dhuhur. Aku hanya berdiam diluar. lalu nampak mertuaku muncul dan menunjukkan dimana istriku. Ternyata dia tertidur pulas dengan hp yang masih memainkan nada-nada merdu dengan iringan musik. Aku hanya diam dan melihatinya tertidur, sementara ibunya menginstruksikanku untuk membangunkannya. Namun aku tidak mau, karena aku tahu. Dia pasti capai menungguiku yang tak kunjung datang.
Cukup lama aku berdiam, agaknya ibu mertuaku kasihan terhadapku dan mulai membangunkan anaknya. Begitu bangun, dengan tanpa pikiran macam-macam, aku menelpon no HP istriku dengan niat menggodanya. Namun, tak sedikitpun ia merespon hpnya yang berteriak menandakan ada panggilan masuk. Aku pun berhenti menggodanya. Begitu ia membuka mata dengan jelas, aku tersenyum padanya. Namun, tak ada gurat senyum sedikitpun untukku. Aku mulai nelangsa.Aku tetap tersenyum dan berpikir positif terhada istriku. Mungkin dia masih begitu capai..
Tak lama kemudian, ia beranjak dari kursi panjang tempat ia duduk tertidur. Lagi-lagi raut muka tak mengenakkan menyapaku. Aku terdiam, lalu tertunduk. Nampaknya aku membuatnya kecewa berat, hingga kedatanganku pun tak membuatnya lantas senang. Sejak saat itu, aku hanya bungkap dan menjawab hanya beberapa patah kata dari apa yang disampaikan ibu bertuaku.
Masih tetap dan terus diam. Seakan kehadiranku tak ada artinya. Aku pun menghampiri istriku yang kala itu ada di kamarnya. Dia tampak termenung dengan sebal. Ada marah di raut mukanya. Begitu datang dan duduk di sampingnya, aku mengutarakan permintaan maafku. Tapi, "Gak Penting!" itulah kata yang terlontar darinya. Hatiku makin sedih. Perjuanganku ternyata dianggapnya gak penting. Dengan jawaban sesinis itu, aku pun tak lagi bisa berkata-kata. Aku rasa tiap kata yang aku ucapkan pun akan menjadi hal gak penting.
Dalam perjalanan pulang, istriku tak sedikitpun melontarkan kata terhadapku. Ia hanya berbincang dengan adikku, itu pun hanya sesekali. Sampai saat ban belakang motorku bocor pun ia tak berkata sedikitpun. Begitu parahkah??? Hingga tak ada sedikitpun kata yang pantas terucap dari mulutnya untukku??
Sampai dirumah, Aku hanya diam.Aku tak ingin menunjukkan masalahku pada orang lain.
Kejadian bermula ketika aku ingin menjemputnya. Yah, sejak malam Maulid Nabi Muhammad SAW, istriku memang meminta izin untuk merayakan di kampung halamannya. Sedangkan aku merayakan di kampung halamanku. Keputusan untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad di beda tempat adalah karena siang harinya aku masih harus bekerja dan malamnya adalah perayaan Maulid. Aku pun mengantarnya pagi-pagi betul. Agar aku tak terlambat masuk kerja. Karena memang jarak tempatku bekerja dari kampung halaman istriku cukup jauh. Kami pun sepakat, aku akan menjemputnya besok harinya. Pas tanggal Merah. Libur kerja.
libur tanggal merah, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, aku dengan sengaja tidak mengikuti kerja lembur yang ditawarkan atasan. Aku lebih memilih untuk menjemput istriku. Seperti biasa, aku sarapan pada jam layaknya hari kerja. Namun aku lebih santai dan menikmati sarapanku. Dalam benakku, aku ga perlu terburu-buru. Tak ada target jam untuk menjemput istriku.
Usai sarapan, aku nonton TV bersama adikku. Hanya sekedar melepas penat. Hingga akhirnya ibu dan nenekku membahas Kalender. Hampir tutup bulan tahun ini, kami tak memiliki kalender. Sehingga kami sulit menentukan apa-apa saja yang terjadwal. Itulah yang mereka bahas. Bahasan pun mengerucut pada salah seorang pakdeku yang memang bekerja di bidang percetakan sablon. Aku pun di tunjuk untuk "mampir" dan pulang membawa sisa kalenderberlebih yang ada di tempat pakde bekerja, rumahnya. Pikir punya pikir, aku pun setuju dengan pertimbangan, karena rumah istriku dan pakde searah.
Aku berangkat ke rumah pakde bersama adikku. Dalam benakku, ke rumah pakde cukup sebentar saja. Setelah ambil kalender yang sebelumnya kami "tanyakan" melalui SMS.Namun, keadaan berkata lain. Begitu sampai di rumah pakde, ternyata pakde tidak ada di rumah. Aku pun diminta menunggu. Bude dan anak berserta menantunya turut menemani disela waktuku menunggu. Hingga akhirnya pakde datang dan tanpa banyak basa-basi pakde menyiapkan kalender yang kami "tanyakan", sementara aku dan adik ngobrol bersama Kakak Keponakan (anak pakde) dan istrinya.
Tidak sesuai rencana, kalender yang hendak aku bawa terpaksa harus menunggu beberapa waktu lagi. Pak de dan keluarganya memintaku untuk berlama-lama. Karena kami memang sudah lama tidak mampir. Padahal, saat itu istriku usai menelpon dan menanyakan kapan aku menjemputnya. Aku dan adik pun didorong menuju meja makan. Kami pun tak bisa menolak setelah beberapa kalimat terlontar dari masing-masing anggota keluarga pakde.
Usai makan, aku kembali berbincang sejenak dan tak lama aku pun mengutarakan maksud untuk pulang. Dan lagi-lagi aku tak mendapatkan izin untuk pulang. Setidaknya, tunggu sampai jam yang mereka tentukan. Kali ini aku mencoba berdalih, karena dari nada bicara istriku di telepon, nampaknya dia marah karena aku tak kunjung menjemputnya.
Kata demi kata aku lontarkan agar aku mendapatkan izin untuk pulang dan menjemput istriku. Agak lama bergelut kata, akhirnya aku pun bisa beranjak dari kediaman pakde. Walau pun sebelumnya pakde sempat mengungkapkan kekecewaannya. Namun, mau bagaimana lagi? Aku pun harus segfera bergegas menjemput istriku.
Tak berselang lama,aku pun sampai di kampung halaman, kediaman istriku. Begitu datang, tak seorang pun menemuiku. Aku memaklumi, karena aku datang di jam sholat Dhuhur. Aku hanya berdiam diluar. lalu nampak mertuaku muncul dan menunjukkan dimana istriku. Ternyata dia tertidur pulas dengan hp yang masih memainkan nada-nada merdu dengan iringan musik. Aku hanya diam dan melihatinya tertidur, sementara ibunya menginstruksikanku untuk membangunkannya. Namun aku tidak mau, karena aku tahu. Dia pasti capai menungguiku yang tak kunjung datang.
Cukup lama aku berdiam, agaknya ibu mertuaku kasihan terhadapku dan mulai membangunkan anaknya. Begitu bangun, dengan tanpa pikiran macam-macam, aku menelpon no HP istriku dengan niat menggodanya. Namun, tak sedikitpun ia merespon hpnya yang berteriak menandakan ada panggilan masuk. Aku pun berhenti menggodanya. Begitu ia membuka mata dengan jelas, aku tersenyum padanya. Namun, tak ada gurat senyum sedikitpun untukku. Aku mulai nelangsa.Aku tetap tersenyum dan berpikir positif terhada istriku. Mungkin dia masih begitu capai..
Tak lama kemudian, ia beranjak dari kursi panjang tempat ia duduk tertidur. Lagi-lagi raut muka tak mengenakkan menyapaku. Aku terdiam, lalu tertunduk. Nampaknya aku membuatnya kecewa berat, hingga kedatanganku pun tak membuatnya lantas senang. Sejak saat itu, aku hanya bungkap dan menjawab hanya beberapa patah kata dari apa yang disampaikan ibu bertuaku.
Masih tetap dan terus diam. Seakan kehadiranku tak ada artinya. Aku pun menghampiri istriku yang kala itu ada di kamarnya. Dia tampak termenung dengan sebal. Ada marah di raut mukanya. Begitu datang dan duduk di sampingnya, aku mengutarakan permintaan maafku. Tapi, "Gak Penting!" itulah kata yang terlontar darinya. Hatiku makin sedih. Perjuanganku ternyata dianggapnya gak penting. Dengan jawaban sesinis itu, aku pun tak lagi bisa berkata-kata. Aku rasa tiap kata yang aku ucapkan pun akan menjadi hal gak penting.
Dalam perjalanan pulang, istriku tak sedikitpun melontarkan kata terhadapku. Ia hanya berbincang dengan adikku, itu pun hanya sesekali. Sampai saat ban belakang motorku bocor pun ia tak berkata sedikitpun. Begitu parahkah??? Hingga tak ada sedikitpun kata yang pantas terucap dari mulutnya untukku??
Sampai dirumah, Aku hanya diam.Aku tak ingin menunjukkan masalahku pada orang lain.
Labels:
Curhat
Thanks for reading Tak Adakah Celah Hatimu?. Please share...!
0 Comment for "Tak Adakah Celah Hatimu?"
Berkomentarlah dengan baik, karena komentar yang baik bisa membuat DizaShared lebih baik lagi. ^_^'